Selasa, 17 Mei 2011

Motivasi Kerja Guru SMP

Perbedaan Motivasi Kerja Guru SMP Negeri di Kota Banjarmasin Berdasarkan Perilaku Kepemimpinan dan Pendekatan Supervisi yang diterimanya

*. Iwan Perdana

Goetsch dan Davis (Effendi, 2007: 1) menyatakan bahwa sumber daya yang paling tinggi nilainya dalam upaya mendobrak daya saing adalah sumber daya manusia yang berkualitas. Pidarda (Effendi, 2007: 1) menyatakan bahwa penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas tidak terlepas dari faktor pendidikan karena menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Besarnya perhatian pemerintah Indonesia di bidang pendidikan tergambar pada disepakatinya anggaran sebesar 20 persen APBN dan APBD untuk memajukan dunia pendidikan, program wajib belajar 9 tahun, bantuan dana operasional sekolah (BOS) dan pemberian beasiswa kepada para peserta didik yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, peranan pendidik atau guru profesional sangat dibutuhkan. Guru menurut undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dengan kualifikasi akademis minimal diploma empat (D-IV) atau sarjana ditambah persyaratan lain yaitu memiliki sertifikat atau semacam lisensi dari perguruan tinggi tertentu yang terakreditasi.
Terkait dengan upaya menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan. Gambaran rendahnya kualitas SDM Indonesia dapat dilihat berdasarkan data UNDP PBB tahun 2000, Indonesia berada di urutan 109 dari 174 negara, posisi tersebut jauh lebih rendah dibanding negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia yang berada di urutan 67 dan Philipina di urutan 77.
Salah satu faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah masih banyak guru yang belum memenuhi standardisasi pendidikan nasional sebagaimana yang diungkapkan Sutjipto, Rektor Universitas Negeri Jakarta (Ayati, 2008: 2) yang menyatakan bahwa saat ini, hanya 50 persen guru se-Indonesia yang memenuhi kualitas sesuai standardisasi pendidikan nasional.

Berdasarkan catatan Human Development Index (HDI), fakta menunjukan bahwa:
Mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar seperti kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dari data statistik HDI terdapat 60% guru SD, 40% SLTP, SMA 43%,SMK 34% dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu, 17,2 % guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan di bidang studinya (www.mizan.com, 25/4/2005).
Agar profesionalitas guru meningkat, maka pembinaan harus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Ini dimaksudkan agar guru melakukan pekerjaan lebih baik.
Salah satu faktor pendorong seseorang melakukan pekerjaan atau kegiatan tertentu adalah adanya motivasi yang melatarbelakanginya. Menurut Sedarmayanti (Ayati, 2008: 6), motivasi dapat diartikan sebagai suatu daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau yang diperbuat karena takut akan sesuatu.
Terkait dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, seorang yang memilih profesi menjadi guru karena termotivasi untuk mendidik anak bangsa akan berbeda dengan orang yang tidak memiliki motivasi yang pada akhirnya akan berdampak terhadap mutu pendidikan. Motivasi yang jelas akan membuat seseorang bekerja lebih maksimal dan pada satu keadaan tertentu akan merasakan kepuasan kerja.
Menurut teori motivasi Herzberg, ada dua faktor yang mendorong seseorang termotivasi, yakni pertama faktor intrinsik atau faktor pendorong, yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang. Kedua faktor ekstrinsik atau faktor penyehat, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang terutama dari organisasi tempatnya bekerja.
Stogdill (Suhartoyo, 2007: 5) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi kerja para bawahan adalah peranan seorang pimpinan. Demikian pula halnya motivasi kerja guru, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah perilaku atasan (kepala sekolah).
Sebagai pemimpin, seorang kepala sekolah harus memiliki perilaku khusus yang mendukung pengembangan sekolah. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) orientasi kepemimpinan di sekolah yaitu (1) berorientasi pada tugas dan tingkah laku yang mengarah pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola organisasi, saluran komunikasi, metode kerja dan prosedur pencapaian tujuan, (2) berorientasi pada hubungan manusia yaitu pimpinan lebih menaruh perhatian pada menjalin hubungan baik, bersikap hangat, menghargai warga sekolah dan saling menaruh kepercayaan.
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia adalah perilaku pemimpin yang lebih menekankan perhatiannya pada kebutuhan dan keterbatasan-keterbatasan orang-orang yang dipimpinnya dengan mengurangi perhatiannya terhadap pencapaian hasil kerja. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa apabila kebutuhan dan keterbatasan bawahan terpenuhi atau terperhatikan maka mereka akan termotivasi untuk bekerja lebih intensif sehingga pada akhirnya tugas yang dibebankan kepadanya dapat diselesaikan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Koontz dan Cyrill (Suhartoyo, 2007: 5) menjelaskan hubungan perilaku pemimpin dengan orang-orang yang menjadi bawahannya sebagai berikut: hubungan pimpinan dengan bawahan berlangsung dalam keseharian kerja, oleh karenanya berbagai karakter pribadi pemimpin yang terefleksikan dalam tingkah laku sehari-hari merupakan stimulus yang direspon oleh bawahannya. Respon tersebut dapat dalam bentuk positif atau negatif, tergantung pada bagaimana bawahan memaknai perilaku pimpinannya. Jika perilaku pimpinan sesuai harapan bawahan maka bentuk respon bawahan yang terefleksikan adalah positif sebaliknya jika perilaku pimpinan tidak sesuai harapan bawahan maka yang muncul adalah respon negatif, yaitu para bawahan tidak termotivasi menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Perilaku kepemimpinan kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para warga sekolah, mengarahkan, memotivasi dan mengantisipasi individu untuk bekerja sama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, selaras dengan pendapat Fattah (Effendi, 2007: 8) yang menyatakan bahwa pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan dan Madhakomala (Effendi, 2007: 9) yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan seni kecakapan seseorang dalam mempengaruhi perilaku dan memotivasi bawahan untuk menekankan keinginan pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi.
Sebagai pemimpin, perilaku kepala sekolah dituntut selalu aktif dan kreatif dalam upaya meningkatkan motivasi para guru dengan melakukan pembinaan kepada para guru, membantu guru-guru melihat kaitan antara tujuan-tujuan pendidikan agar lebih mampu membimbing pengalaman belajar siswa menggunakan berbagai sumber dan media belajar, menerapkan metode dan teknik mengajar yang lebih efektif, menganalisis kesulitan-kesulitan belajar dan kebutuhan belajar para siswa serta menilai proses dan hasil belajar.
Kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, memiliki lima macam fungsi, yaitu sebagai manajer, administrator, motor penggerak hubungan dengan masyarakat, pemimpin dan sebagai supervisor (Pidarta, 2009: 13). Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang dipimpinnya, kepala sekolah harus dapat menjalankan kelima posisi tersebut dengan baik, salah satunya dengan melaksanakan posisi sebagai supervisor guna membantu guru menjalankan tugasnya secara makro dan mikro.
Menurut Raka Joni (Banun, 2009: 42), secara makro tugas guru berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa sedangkan secara mikro adalah membelajarkan siswa yakni menyiapkan satu situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa belajar sesuai dengan bakat, minat dan potensi dirinya.


Supervisi adalah implementasi salah satu fungsi manajemen yang menjadi tanggung jawab seorang kepala sekolah yaitu fungsi pengawasan yang pada intinya melaknonukan pembinaan dan bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan. Hendyat dan Wasty Soemanto (1984: 39) berpendapat bahwa supervisi adalah program yang berencana untuk memperbaiki pengajaran.
Menurut Hadari Nawawi (1989: 104), supervisi pendidikan diartikan sebagai pelayanan yang disediakan oleh pimpinan untuk membantu guru-guru agar menjadi guru-guru yang semakin cakap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu pendidikan khususnya sedangkan Ngalim Purwanto (1995: 76) memberikan pengertian supervisi sebagai suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif. Supervisi dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pengajaran sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Kegiatan supervisi yang dilakukan kepala sekolah akan berpengaruh secara psikologis terhadap motivasi kerja guru. Apabila supervisi dilakukan kepala sekolah dengan pendekatan yang tepat maka motivasi kerja guru akan meningkat sehingga guru akan bekerja dengan suka rela, tetapi jika pendekatan yang digunakan tidak tepat, maka yang terjadi sebaliknya, guru akan berkerja dengan merasa terpaksa dan kurang bergairah.
Di Kota Banjarmasin, terdapat 34 Sekolah Menengah Pertama Negeri yang tersebar di 5 kecamatan dengan jumlah guru tetap sebanyak 1.062 orang. Kualitas atau mutu SMP Negeri di Kota Banjarmasin belum sama. Ada sekolah yang terkenal berkualitas sehingga menjadi pilihan utama orang tua dan siswa melanjutkan pendidikan setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, namun masih ada juga SMP Negeri yang kualitasnya belum sesuai harapan.
Salah satu unsur penting dalam upaya meningkatkan kualitas sekolah di Kota Banjarmasin adalah adanya para guru yang menjalankan kewajibannya secara profesional. Seorang guru profesional akan memberikan yang terbaik untuk kemajuan sekolah tempat dia bekerja. Ini hanya akan terwujud apabila guru tersebut memiliki motivasi kerja yang sangat tinggi.
Motivasi kerja guru SMP Negeri di Kota Banjarmasin berbeda antara satu dengan yang lain, baik yang berada dalam lingkup sekolah yang sama ataupun berbeda sekolah. Hal ini antara lain disebabkan oleh perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah yang diterimanya.
Perbedaan penerapan perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah akan berdampak pada motivasi kerja guru karena perilaku kepemimpinan dan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dengan menggunakan pendekatan yang sesuai tipe guru akan meningkatkan motivasi kerja para guru, begitu juga sebaliknya. Perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi yang tidak sesuai tipe guru akan menyebabkan turunnya motivasi kerja mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah yang diteliti, yaitu perbedaan perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah diduga berpengaruh terhadap motivasi kerja guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar