As proverb says ‘practice makes perfect’. Therefore, students must
practice to speak English as often as possible so that they are able to
speak English fluently and accurately. A part of that, to speak English,
we have to know some important component. The component is what aspect
influencing how well people speak English. Here is the component of
speaking skill according to syakur.According to Syakur (1987: 5),
speaking is a complex skill because at least it is concerned with
components of grammar, vocabulary, pronunciation, and fluency.
1) Grammar
It is needed for students to arrange a correct sentence in conversation.
It is in line with explanation suggested by Heaton (1978: 5) that
student’s ability to manipulate structure and to distinguish appropriate
grammatical form in appropriate one. The utility of grammar is also to
learn the correct way to gain expertise in a language in oral and
written form.
2) Vocabulary
Vocabulary means the appropriate diction which is used in communication.
Without having a sufficient vocabulary, one cannot communicate
effectively or express their ideas in both oral and written form. Having
limited vocabulary is also a barrier that precludes learners from
learning a language. Language teachers, therefore should process
considerable knowledge on how to manage an interesting classroom so that
the learners can gain a great success in their vocabulary learning.
Without grammar very little can be conveyed, without vocabulary nothing
can be conveyed.
3) Pronunciation
Pronunciation is the way for students’ to produce clearer language when
they speak. It deals with the phonological process that refers to the
components of a grammar made up of the elements and principles that
determine how sounds vary and pattern in a language. There are two
features of pronunciation; phonemes and supra segmental features. A
speaker who constantly mispronounces a range of phonemes can be
extremely difficult for a speaker from another language community to
understand (Gerard, 2000:11).
4) Fluency
Fluency can be defined as the ability to speak fluently and accurately.
Fluency in speaking is the aim of many language learners. Signs of
fluency include a reasonably fast speed of speaking and only a small
number of pauses and “ums” or “ers”. These signs indicate that the
speaker does not have to spend a lot of time searching for the language
items needed to express the message (Brown. 1997: 4).
Pendidikan
Kamis, 04 April 2013
Kamis, 14 Maret 2013
Sekilas Tentang Penelitian
SEKILAS
TENTANG PENELITIAN
A.
Hakikat
Penelitian
Penelitian
adalah kegiatan untuk menjawab suatu masalah atau mengungkap suatu fenomena
dengan menggunakan metode ilmiah. Sangadji (2010) menyatakan pada hakikatnya,
penelitian merupakan kegiatan ilmiah untuk memperoleh pengetahuan yang benar
tentang suatu masalah. Pengetahuan yang diperoleh berupa fakta-fakta, konsep,
generalisasi, dan teori yang memungkinkan manusia dapat memahami fenomena dan
memecahkan masalah yang dihadapi.
Penelitian
dimulai dengan permasalahan, kemudian berupaya mencari jawaban atas permasalahan
dengan mengkaji literature yang relevan untuk menemukan asumsi, hipotesis,
selanjutnya diikuti dengan mengumpulkan data dari lapangan kemudian dianalisis
dengan teknik yang sesuai sehingga diperoleh kesimpulan atau temuan. Tahapan-tahapan
tersebut disebut metode ilmiah.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa penelitian adalah usaha penyelidikan yang
sistematis dan terorganisasi karena prosesnya melalui tahapan-tahapan yang
sesuai metode ilmiah untuk mencapai tujuan penelitian yaitu kesimpulan atau
temuan.
Dalam penelitian, kebenaran yang
ditekankan adalah kebenaran ilmiah yang bersifat nisbi (relative), bukan kebenaran yang bersifat mutlak sebab mungkin saja,
hasil yang diraih benar pada saat dilakukan penelitian atau pada waktu itu
saja. Namun bisa saja hasilnya berbeda jika penelitian serupa dilakukan di
tempat lain atau waktu yang berbeda. Meski demikian, hasil penelitian tetap
saja memberikan manfaat yang sangat banyak bagi manusia untuk meningkatkan
kesejahteraan hidupnya melalui sumbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dikembangkan melalui penelitian.
Dikaitkan dengan penelitian pembelajaran bahasa Inggris, apabila
kita hendak melakukan penelitian maka hendaknya penelitian yang dilakukan
disebabkan oleh adanya permasalahan dalam pembelajaran bahasa Inggris sehingga
perlu dilakukannya upaya untuk menjelaskan, mengeksplorasi atau memprediksi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Inggris.
B.
Tujuan Penelitian
Wiyono (2007) menyatakan bahwa tujuan penelitian sebagai suatu
kegiatan ilmiah adalah untuk menjelaskan, mengeskplorasi atau memprediksi
fenomena. Tujuan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa suatu peristiwa memiliki
dampak yang bisa diteliti. Melalui penelitian, seseorang memahami, melakukan
dan menguji atau mengembangkan teori. Ini berarti bahwa suatu peristiwa atau
fenomena yang tidak memiliki dampak yang bisa diteliti tidak dapat dijadikan
objek penelitian.
C.
Motivasi
Melakukan Penelitian
Motivasi berasal dari kata movere yang berarti dorongan atau
menggerakkan. Barelson dan Steiner (Koontz,2001) mendefinisikan motivasi
sebagai suatu keadaan dalam diri
seseorang (innerstate) yang mendorong, mengaktifkan atau menggerakan,
dan yang mengarahkan atau menyalurkan perilaku ke arah tujuan. Hersey dan
Blanchard (Ayati,2008) merumuskan motivasi sebagai kekuatan yang mendorong
seseorang untuk melakukan kegiatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
motivasi adalah keinginan untuk berbuat sesuatu yang timbul dari diri
seseorang.
Setiap orang memiliki motivasi sendiri
dalam melakukan suatu aktivitas. Begitu juga dalam penelitian pembelajaran
bahasa Inggris, motivasi si peneliti mungkin saja berbeda dari peneliti lainnya,
misalnya karena ingin mengungkap kebenaran, mempelajari sesuatu atau mencari
solusi atas suatu masalah.
D.
Jenis Penelitian
Wiyono (2007) membedakan jenis penelitian dari tujuan dilakukannya
menjadi lima jenis, yaitu:
1.
Penelitian
Dasar (Basic Research)
Bertujuan
untuk memperoleh temuan ilmiah yang dapat memberikan sumbangan efektif bagi
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Disebut juga penelitian murni (pure research) atau penelitian fundamental
(fundamental research).
2.
Penelitian
Terapan (Applied Research)
Bertujuan
untuk memperoleh temuan-temuan yang dapat dimanfaatkan secara langsung untuk
keperluan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Penelitian
Evaluasi (Evaluation Research)
Bertujuan
mengevaluasi terhadap produk, program kegiatan atau obyek tertentu lainnya.
Penelitian evaluasi diarahkan untuk menentukan nilai, keberhasilan, atau
kualitas suatu kegiatan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan.Termasuk
dalam rumpun penelitian evaluasi adalah penelitian kebijakan (policy research), analisis kebijakan (policy analysis), atau evaluasi
kebijakan (policy evaluation).
4.
Penelitian
Tindakan (Action Research)
Bertujuan
untuk memecahkan masalah-masalah praktis yang ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya di lingkungan sekolah maupun masyarakat. Karakteristik
utama penelitian tindakan adalah disamping melakukan penelitian (research), juga memberikan tindakan (action) untuk pemecahan masalah atau
mengadakan perbaikan/ peningkatan.
5. Penelitian Pengembangan (Research
and Development)
Bertujuan untuk mengembangkan atau
menghasilkan suatu produk, program atau model kegiatan tertentu. Tujuan
penelitian pengembangan tidak ditekankan untuk menguji atau memformulasikan
hipotesis, tetapi menghasilkan suatu produk yang bisa berupa bahan, alat,
program atau model.
E.
Karakteristik Penelitian
Kerlier (2006) dalam Sangadji (2010) menjelaskan bahwa penelitian
memiliki tiga karakteristik, yaitu:
1.
Tujuan
Penelitian
Secara
umum penelitian mempunyai tiga tujuan, yaitu: (a)Penemuan, data dari penelitian
dimulai dari permasalahan sampai temuan atau kesimpulan penelitian adalah
benar-benar baru dan belum pernah ada sebelumnya,(b)Pembuktian, masalah
penelitian sampai hasil atau temuan penelitian bersifat menguji atau membuktikan
jika hasil penelitian masih relevan jika dilakukan ditempat lain, atau dalam
waktu berbeda, dan (c) Pengembangan, tujuan penelitian ingin
mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah ada.
2.
Metode
Penelitian
Babbie
(Sangadji,2010) mengatakan bahwa metode penelitian pada dasarnya merupakan cara
ilmiah untuk mendapatkan data tentang tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah
mempunyai karakteristik:
(a) Rasional
Rasional
berarti penelitian dilakukan dengan cara-cara masuk akal dan terjangkau
penalaran atau logika manusia
(b) Empiris
Empiris
berarti penelitian dilakukan berdasarkan fakta-fakta di lapangan yang dapat
diuji orang lain atau pihak lain
(c) Sistematis
Sistematis
berarti penelitian merupakan proses tertentu yang logis
3.
Hubungan
Penelitian dengan Ilmu
Salah
satu tujuan dilakukannya penelitian adalah mengembangkan pengetahuan, sedangkan
ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu: (a)Rasional,
pengetahuan dikatakan rasional jika disusun menggunakan logika tertentu yang
sering disebut pengetahuan yang menggunakan penalaran, (b)Teruji, pengetahuan
teruji adalah pengetahuan yang disusun berdasarkan fakta atau fenomena. Fakta
dapat berupa kejadian atau segala kejadian yan dialami dalam kehidupan nyata
atau tertangkap oleh pengalaman hidup manusia (Malthotra,N.K, 2006).
Berangkat dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa penelitian pembelajaran bahasa Inggris seharusnya memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1.
Dari segi
tujuan penelitian
Penelitian
pembelajaran bahasa Inggris hendaknya mempunyai tiga tujuan, yaitu:
(a) Penemuan, data dari
penelitian dimulai sampai temuan atau kesimpulan penelitian adalah sesuatu yang
baru di bidang pembelajaran bahasa Inggris dan sebaiknya belum pernah ada
sebelumnya,
(b) Pembuktian,
masalah penelitian pembelajaran bahasa Inggris sampai hasil atau temuan
penelitian bersifat menguji atau membuktikan apakah hasil penelitian masih
relevan jika dilakukan ditempat lain, atau dalam waktu berbeda,
(c) Pengembangan,
tujuan dilakukannya penelitian adalah dalam rangka mengembangkan ilmu
pengetahuan tentang bahasa Inggris.
2.
Metode Penelitian
Penelitian
tentang pembelajaran bahasa Inggris hendaknya mempunyai karakteristik (a)
rasional (b) empiris, (c) sistematis
3.
Hubungan
Penelitian dengan Ilmu
Penelitian yang akan
dilakukan hendaknya berdasarkan fakta atau fenomena berupa kejadian atau segala
kejadian yang dialami dalam proses pembelajaran bahasa Inggris.
F.
Tahapan
Penelitian
Kegiatan
penelitian tidak boleh dilakukan asal-asalan. Aktivitas penelitian harus
mengikuti prosedur atau aturan main yang menjadi standar ilmiah. Blaxter,et al
(2001) menjelaskan bahwa penelitian harus dilakukan dengan “planned,
cautious, systematic, and reliable ways of finding out or deepening
understanding.
Penelitian
yang dilakukan tanpa mengikuti standar ilmiah maka hasilnya akan diragukan
bahkan mungkin saja tidak diakui. Penelitian yang sesuai kaidah ilmiah akan
menghasilkan report yang dapat menjadi
referensi atau sumber rujukan penelitian berikutnya.
Wiyono (2007) menyatakan bahwa penelitian adalah kegiatan untuk menjawab
suatu masalah atau mengungkap suatu fenomena dengan menggunakan metode ilmiah
yang diuraikan sebagai berikut:
1. Memilih dan mendefinisikan masalah
Sebuah masalah merupakan hipotesis
atau pertanyaan terhadap masalah pendidikan yang dapat diuji atau dijawab
melalui pengumpulan data dan analisis
2. Menetapkan prosedur penelitian
Prosedur penelitian mencakup
seluruh proses penelitian yang akan dilakukan, termasuk pemilihan subjek dan
pengembangan instrumen pengukuran
3. Mengumpulkan data
Setelah prosedur penelitian
ditetapkan, langkah berikutnya adalah mengumpulkan data. Pengumpulan data
merupakan realisasi dari prosedur penelitian yang telah ditetapkan
4. Menganalisis data
Analisis data mencakup penerapan
satu atau lebih teknik analisis data. Melalui analisis data memungkinkan
peneliti menguji hipotesis penelitian atau menjawab pertanyaan penelitian
5. Menggambarkan & menetapkan kesimpulan
Kesimpulan didasarkan pada analisis data. Kesimpulan menunjukkan
apakah hipotesis yang ditetapkan didukung atau ditolak.
G.
Penelitian Pembelajaran Bahasa Inggris
Latief (2010) menjelaskan bahwa
penelitian tentang pembelajaran yang efektif bertujuan untuk mengungkap rahasia
yang membuat pembelajaran tersebut efektif sebab pembelajaran yang efektif
tidak terjadi secara kebetulan tetapi karena mengikuti sebuah sistem tertentu
yang menjadi rahasia keefektifannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penelitian di bidang
pembelajaran bahasa Inggris dapat dideskripsikan sebagai suatu penelitian yang
berusaha mengungkap rahasia pembelajaran bahasa Inggris yang efektif.
H.
Nilai Sebuah Penelitian Pembelajaran Bahasa Inggris
Nilai tambah dari sebuah penelitian pembelajaran
bahasa Inggris adalah jika penelitian yang dilakukan berkontribusi positif, misalnya
membahas permasalahan yang dialami guru dalam mengajar atau kesulitan siswa
dalam belajar, kemudian hasil analisisnya menghasilkan solusi untuk mengatasi
problem yang dihadapi guru sehingga teknik mengajarnya semakin baik atau siswa
dapat menemukan solusi untuk mengatasi kesulitannya.
Selasa, 17 Mei 2011
Motivasi Kerja Guru SMP
Perbedaan Motivasi Kerja Guru SMP Negeri di Kota Banjarmasin Berdasarkan Perilaku Kepemimpinan dan Pendekatan Supervisi yang diterimanya
*. Iwan Perdana
Goetsch dan Davis (Effendi, 2007: 1) menyatakan bahwa sumber daya yang paling tinggi nilainya dalam upaya mendobrak daya saing adalah sumber daya manusia yang berkualitas. Pidarda (Effendi, 2007: 1) menyatakan bahwa penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas tidak terlepas dari faktor pendidikan karena menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Besarnya perhatian pemerintah Indonesia di bidang pendidikan tergambar pada disepakatinya anggaran sebesar 20 persen APBN dan APBD untuk memajukan dunia pendidikan, program wajib belajar 9 tahun, bantuan dana operasional sekolah (BOS) dan pemberian beasiswa kepada para peserta didik yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, peranan pendidik atau guru profesional sangat dibutuhkan. Guru menurut undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dengan kualifikasi akademis minimal diploma empat (D-IV) atau sarjana ditambah persyaratan lain yaitu memiliki sertifikat atau semacam lisensi dari perguruan tinggi tertentu yang terakreditasi.
Terkait dengan upaya menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan. Gambaran rendahnya kualitas SDM Indonesia dapat dilihat berdasarkan data UNDP PBB tahun 2000, Indonesia berada di urutan 109 dari 174 negara, posisi tersebut jauh lebih rendah dibanding negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia yang berada di urutan 67 dan Philipina di urutan 77.
Salah satu faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah masih banyak guru yang belum memenuhi standardisasi pendidikan nasional sebagaimana yang diungkapkan Sutjipto, Rektor Universitas Negeri Jakarta (Ayati, 2008: 2) yang menyatakan bahwa saat ini, hanya 50 persen guru se-Indonesia yang memenuhi kualitas sesuai standardisasi pendidikan nasional.
Berdasarkan catatan Human Development Index (HDI), fakta menunjukan bahwa:
Mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar seperti kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dari data statistik HDI terdapat 60% guru SD, 40% SLTP, SMA 43%,SMK 34% dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu, 17,2 % guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan di bidang studinya (www.mizan.com, 25/4/2005).
Agar profesionalitas guru meningkat, maka pembinaan harus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Ini dimaksudkan agar guru melakukan pekerjaan lebih baik.
Salah satu faktor pendorong seseorang melakukan pekerjaan atau kegiatan tertentu adalah adanya motivasi yang melatarbelakanginya. Menurut Sedarmayanti (Ayati, 2008: 6), motivasi dapat diartikan sebagai suatu daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau yang diperbuat karena takut akan sesuatu.
Terkait dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, seorang yang memilih profesi menjadi guru karena termotivasi untuk mendidik anak bangsa akan berbeda dengan orang yang tidak memiliki motivasi yang pada akhirnya akan berdampak terhadap mutu pendidikan. Motivasi yang jelas akan membuat seseorang bekerja lebih maksimal dan pada satu keadaan tertentu akan merasakan kepuasan kerja.
Menurut teori motivasi Herzberg, ada dua faktor yang mendorong seseorang termotivasi, yakni pertama faktor intrinsik atau faktor pendorong, yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang. Kedua faktor ekstrinsik atau faktor penyehat, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang terutama dari organisasi tempatnya bekerja.
Stogdill (Suhartoyo, 2007: 5) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi kerja para bawahan adalah peranan seorang pimpinan. Demikian pula halnya motivasi kerja guru, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah perilaku atasan (kepala sekolah).
Sebagai pemimpin, seorang kepala sekolah harus memiliki perilaku khusus yang mendukung pengembangan sekolah. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) orientasi kepemimpinan di sekolah yaitu (1) berorientasi pada tugas dan tingkah laku yang mengarah pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola organisasi, saluran komunikasi, metode kerja dan prosedur pencapaian tujuan, (2) berorientasi pada hubungan manusia yaitu pimpinan lebih menaruh perhatian pada menjalin hubungan baik, bersikap hangat, menghargai warga sekolah dan saling menaruh kepercayaan.
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia adalah perilaku pemimpin yang lebih menekankan perhatiannya pada kebutuhan dan keterbatasan-keterbatasan orang-orang yang dipimpinnya dengan mengurangi perhatiannya terhadap pencapaian hasil kerja. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa apabila kebutuhan dan keterbatasan bawahan terpenuhi atau terperhatikan maka mereka akan termotivasi untuk bekerja lebih intensif sehingga pada akhirnya tugas yang dibebankan kepadanya dapat diselesaikan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Koontz dan Cyrill (Suhartoyo, 2007: 5) menjelaskan hubungan perilaku pemimpin dengan orang-orang yang menjadi bawahannya sebagai berikut: hubungan pimpinan dengan bawahan berlangsung dalam keseharian kerja, oleh karenanya berbagai karakter pribadi pemimpin yang terefleksikan dalam tingkah laku sehari-hari merupakan stimulus yang direspon oleh bawahannya. Respon tersebut dapat dalam bentuk positif atau negatif, tergantung pada bagaimana bawahan memaknai perilaku pimpinannya. Jika perilaku pimpinan sesuai harapan bawahan maka bentuk respon bawahan yang terefleksikan adalah positif sebaliknya jika perilaku pimpinan tidak sesuai harapan bawahan maka yang muncul adalah respon negatif, yaitu para bawahan tidak termotivasi menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Perilaku kepemimpinan kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para warga sekolah, mengarahkan, memotivasi dan mengantisipasi individu untuk bekerja sama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, selaras dengan pendapat Fattah (Effendi, 2007: 8) yang menyatakan bahwa pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan dan Madhakomala (Effendi, 2007: 9) yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan seni kecakapan seseorang dalam mempengaruhi perilaku dan memotivasi bawahan untuk menekankan keinginan pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi.
Sebagai pemimpin, perilaku kepala sekolah dituntut selalu aktif dan kreatif dalam upaya meningkatkan motivasi para guru dengan melakukan pembinaan kepada para guru, membantu guru-guru melihat kaitan antara tujuan-tujuan pendidikan agar lebih mampu membimbing pengalaman belajar siswa menggunakan berbagai sumber dan media belajar, menerapkan metode dan teknik mengajar yang lebih efektif, menganalisis kesulitan-kesulitan belajar dan kebutuhan belajar para siswa serta menilai proses dan hasil belajar.
Kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, memiliki lima macam fungsi, yaitu sebagai manajer, administrator, motor penggerak hubungan dengan masyarakat, pemimpin dan sebagai supervisor (Pidarta, 2009: 13). Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang dipimpinnya, kepala sekolah harus dapat menjalankan kelima posisi tersebut dengan baik, salah satunya dengan melaksanakan posisi sebagai supervisor guna membantu guru menjalankan tugasnya secara makro dan mikro.
Menurut Raka Joni (Banun, 2009: 42), secara makro tugas guru berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa sedangkan secara mikro adalah membelajarkan siswa yakni menyiapkan satu situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa belajar sesuai dengan bakat, minat dan potensi dirinya.
Supervisi adalah implementasi salah satu fungsi manajemen yang menjadi tanggung jawab seorang kepala sekolah yaitu fungsi pengawasan yang pada intinya melaknonukan pembinaan dan bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan. Hendyat dan Wasty Soemanto (1984: 39) berpendapat bahwa supervisi adalah program yang berencana untuk memperbaiki pengajaran.
Menurut Hadari Nawawi (1989: 104), supervisi pendidikan diartikan sebagai pelayanan yang disediakan oleh pimpinan untuk membantu guru-guru agar menjadi guru-guru yang semakin cakap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu pendidikan khususnya sedangkan Ngalim Purwanto (1995: 76) memberikan pengertian supervisi sebagai suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif. Supervisi dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pengajaran sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Kegiatan supervisi yang dilakukan kepala sekolah akan berpengaruh secara psikologis terhadap motivasi kerja guru. Apabila supervisi dilakukan kepala sekolah dengan pendekatan yang tepat maka motivasi kerja guru akan meningkat sehingga guru akan bekerja dengan suka rela, tetapi jika pendekatan yang digunakan tidak tepat, maka yang terjadi sebaliknya, guru akan berkerja dengan merasa terpaksa dan kurang bergairah.
Di Kota Banjarmasin, terdapat 34 Sekolah Menengah Pertama Negeri yang tersebar di 5 kecamatan dengan jumlah guru tetap sebanyak 1.062 orang. Kualitas atau mutu SMP Negeri di Kota Banjarmasin belum sama. Ada sekolah yang terkenal berkualitas sehingga menjadi pilihan utama orang tua dan siswa melanjutkan pendidikan setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, namun masih ada juga SMP Negeri yang kualitasnya belum sesuai harapan.
Salah satu unsur penting dalam upaya meningkatkan kualitas sekolah di Kota Banjarmasin adalah adanya para guru yang menjalankan kewajibannya secara profesional. Seorang guru profesional akan memberikan yang terbaik untuk kemajuan sekolah tempat dia bekerja. Ini hanya akan terwujud apabila guru tersebut memiliki motivasi kerja yang sangat tinggi.
Motivasi kerja guru SMP Negeri di Kota Banjarmasin berbeda antara satu dengan yang lain, baik yang berada dalam lingkup sekolah yang sama ataupun berbeda sekolah. Hal ini antara lain disebabkan oleh perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah yang diterimanya.
Perbedaan penerapan perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah akan berdampak pada motivasi kerja guru karena perilaku kepemimpinan dan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dengan menggunakan pendekatan yang sesuai tipe guru akan meningkatkan motivasi kerja para guru, begitu juga sebaliknya. Perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi yang tidak sesuai tipe guru akan menyebabkan turunnya motivasi kerja mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah yang diteliti, yaitu perbedaan perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah diduga berpengaruh terhadap motivasi kerja guru.
*. Iwan Perdana
Goetsch dan Davis (Effendi, 2007: 1) menyatakan bahwa sumber daya yang paling tinggi nilainya dalam upaya mendobrak daya saing adalah sumber daya manusia yang berkualitas. Pidarda (Effendi, 2007: 1) menyatakan bahwa penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas tidak terlepas dari faktor pendidikan karena menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Besarnya perhatian pemerintah Indonesia di bidang pendidikan tergambar pada disepakatinya anggaran sebesar 20 persen APBN dan APBD untuk memajukan dunia pendidikan, program wajib belajar 9 tahun, bantuan dana operasional sekolah (BOS) dan pemberian beasiswa kepada para peserta didik yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional, peranan pendidik atau guru profesional sangat dibutuhkan. Guru menurut undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah dengan kualifikasi akademis minimal diploma empat (D-IV) atau sarjana ditambah persyaratan lain yaitu memiliki sertifikat atau semacam lisensi dari perguruan tinggi tertentu yang terakreditasi.
Terkait dengan upaya menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, salah satu permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih rendahnya mutu pendidikan. Gambaran rendahnya kualitas SDM Indonesia dapat dilihat berdasarkan data UNDP PBB tahun 2000, Indonesia berada di urutan 109 dari 174 negara, posisi tersebut jauh lebih rendah dibanding negara-negara di Asia Tenggara seperti Malaysia yang berada di urutan 67 dan Philipina di urutan 77.
Salah satu faktor penyebab rendahnya mutu pendidikan adalah masih banyak guru yang belum memenuhi standardisasi pendidikan nasional sebagaimana yang diungkapkan Sutjipto, Rektor Universitas Negeri Jakarta (Ayati, 2008: 2) yang menyatakan bahwa saat ini, hanya 50 persen guru se-Indonesia yang memenuhi kualitas sesuai standardisasi pendidikan nasional.
Berdasarkan catatan Human Development Index (HDI), fakta menunjukan bahwa:
Mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar seperti kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Dari data statistik HDI terdapat 60% guru SD, 40% SLTP, SMA 43%,SMK 34% dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu, 17,2 % guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan di bidang studinya (www.mizan.com, 25/4/2005).
Agar profesionalitas guru meningkat, maka pembinaan harus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Ini dimaksudkan agar guru melakukan pekerjaan lebih baik.
Salah satu faktor pendorong seseorang melakukan pekerjaan atau kegiatan tertentu adalah adanya motivasi yang melatarbelakanginya. Menurut Sedarmayanti (Ayati, 2008: 6), motivasi dapat diartikan sebagai suatu daya pendorong (driving force) yang menyebabkan orang berbuat sesuatu atau yang diperbuat karena takut akan sesuatu.
Terkait dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, seorang yang memilih profesi menjadi guru karena termotivasi untuk mendidik anak bangsa akan berbeda dengan orang yang tidak memiliki motivasi yang pada akhirnya akan berdampak terhadap mutu pendidikan. Motivasi yang jelas akan membuat seseorang bekerja lebih maksimal dan pada satu keadaan tertentu akan merasakan kepuasan kerja.
Menurut teori motivasi Herzberg, ada dua faktor yang mendorong seseorang termotivasi, yakni pertama faktor intrinsik atau faktor pendorong, yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang. Kedua faktor ekstrinsik atau faktor penyehat, yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang terutama dari organisasi tempatnya bekerja.
Stogdill (Suhartoyo, 2007: 5) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi motivasi kerja para bawahan adalah peranan seorang pimpinan. Demikian pula halnya motivasi kerja guru, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah perilaku atasan (kepala sekolah).
Sebagai pemimpin, seorang kepala sekolah harus memiliki perilaku khusus yang mendukung pengembangan sekolah. Pada dasarnya terdapat 2 (dua) orientasi kepemimpinan di sekolah yaitu (1) berorientasi pada tugas dan tingkah laku yang mengarah pada penyusunan rencana kerja, penetapan pola organisasi, saluran komunikasi, metode kerja dan prosedur pencapaian tujuan, (2) berorientasi pada hubungan manusia yaitu pimpinan lebih menaruh perhatian pada menjalin hubungan baik, bersikap hangat, menghargai warga sekolah dan saling menaruh kepercayaan.
Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia adalah perilaku pemimpin yang lebih menekankan perhatiannya pada kebutuhan dan keterbatasan-keterbatasan orang-orang yang dipimpinnya dengan mengurangi perhatiannya terhadap pencapaian hasil kerja. Konsep ini dilandasi asumsi bahwa apabila kebutuhan dan keterbatasan bawahan terpenuhi atau terperhatikan maka mereka akan termotivasi untuk bekerja lebih intensif sehingga pada akhirnya tugas yang dibebankan kepadanya dapat diselesaikan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Koontz dan Cyrill (Suhartoyo, 2007: 5) menjelaskan hubungan perilaku pemimpin dengan orang-orang yang menjadi bawahannya sebagai berikut: hubungan pimpinan dengan bawahan berlangsung dalam keseharian kerja, oleh karenanya berbagai karakter pribadi pemimpin yang terefleksikan dalam tingkah laku sehari-hari merupakan stimulus yang direspon oleh bawahannya. Respon tersebut dapat dalam bentuk positif atau negatif, tergantung pada bagaimana bawahan memaknai perilaku pimpinannya. Jika perilaku pimpinan sesuai harapan bawahan maka bentuk respon bawahan yang terefleksikan adalah positif sebaliknya jika perilaku pimpinan tidak sesuai harapan bawahan maka yang muncul adalah respon negatif, yaitu para bawahan tidak termotivasi menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.
Perilaku kepemimpinan kepala sekolah harus dapat mendorong kinerja para warga sekolah, mengarahkan, memotivasi dan mengantisipasi individu untuk bekerja sama dalam kelompok dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, selaras dengan pendapat Fattah (Effendi, 2007: 8) yang menyatakan bahwa pemimpin pada hakikatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan dan Madhakomala (Effendi, 2007: 9) yang berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan seni kecakapan seseorang dalam mempengaruhi perilaku dan memotivasi bawahan untuk menekankan keinginan pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi.
Sebagai pemimpin, perilaku kepala sekolah dituntut selalu aktif dan kreatif dalam upaya meningkatkan motivasi para guru dengan melakukan pembinaan kepada para guru, membantu guru-guru melihat kaitan antara tujuan-tujuan pendidikan agar lebih mampu membimbing pengalaman belajar siswa menggunakan berbagai sumber dan media belajar, menerapkan metode dan teknik mengajar yang lebih efektif, menganalisis kesulitan-kesulitan belajar dan kebutuhan belajar para siswa serta menilai proses dan hasil belajar.
Kepala sekolah sebagai pemimpin di sekolah dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari, memiliki lima macam fungsi, yaitu sebagai manajer, administrator, motor penggerak hubungan dengan masyarakat, pemimpin dan sebagai supervisor (Pidarta, 2009: 13). Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang dipimpinnya, kepala sekolah harus dapat menjalankan kelima posisi tersebut dengan baik, salah satunya dengan melaksanakan posisi sebagai supervisor guna membantu guru menjalankan tugasnya secara makro dan mikro.
Menurut Raka Joni (Banun, 2009: 42), secara makro tugas guru berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa sedangkan secara mikro adalah membelajarkan siswa yakni menyiapkan satu situasi dan kondisi yang memungkinkan siswa belajar sesuai dengan bakat, minat dan potensi dirinya.
Supervisi adalah implementasi salah satu fungsi manajemen yang menjadi tanggung jawab seorang kepala sekolah yaitu fungsi pengawasan yang pada intinya melaknonukan pembinaan dan bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan. Hendyat dan Wasty Soemanto (1984: 39) berpendapat bahwa supervisi adalah program yang berencana untuk memperbaiki pengajaran.
Menurut Hadari Nawawi (1989: 104), supervisi pendidikan diartikan sebagai pelayanan yang disediakan oleh pimpinan untuk membantu guru-guru agar menjadi guru-guru yang semakin cakap sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu pendidikan khususnya sedangkan Ngalim Purwanto (1995: 76) memberikan pengertian supervisi sebagai suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif. Supervisi dilakukan untuk memajukan dan mengembangkan pengajaran sehingga proses belajar mengajar berlangsung dengan baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Kegiatan supervisi yang dilakukan kepala sekolah akan berpengaruh secara psikologis terhadap motivasi kerja guru. Apabila supervisi dilakukan kepala sekolah dengan pendekatan yang tepat maka motivasi kerja guru akan meningkat sehingga guru akan bekerja dengan suka rela, tetapi jika pendekatan yang digunakan tidak tepat, maka yang terjadi sebaliknya, guru akan berkerja dengan merasa terpaksa dan kurang bergairah.
Di Kota Banjarmasin, terdapat 34 Sekolah Menengah Pertama Negeri yang tersebar di 5 kecamatan dengan jumlah guru tetap sebanyak 1.062 orang. Kualitas atau mutu SMP Negeri di Kota Banjarmasin belum sama. Ada sekolah yang terkenal berkualitas sehingga menjadi pilihan utama orang tua dan siswa melanjutkan pendidikan setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, namun masih ada juga SMP Negeri yang kualitasnya belum sesuai harapan.
Salah satu unsur penting dalam upaya meningkatkan kualitas sekolah di Kota Banjarmasin adalah adanya para guru yang menjalankan kewajibannya secara profesional. Seorang guru profesional akan memberikan yang terbaik untuk kemajuan sekolah tempat dia bekerja. Ini hanya akan terwujud apabila guru tersebut memiliki motivasi kerja yang sangat tinggi.
Motivasi kerja guru SMP Negeri di Kota Banjarmasin berbeda antara satu dengan yang lain, baik yang berada dalam lingkup sekolah yang sama ataupun berbeda sekolah. Hal ini antara lain disebabkan oleh perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah yang diterimanya.
Perbedaan penerapan perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah akan berdampak pada motivasi kerja guru karena perilaku kepemimpinan dan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dengan menggunakan pendekatan yang sesuai tipe guru akan meningkatkan motivasi kerja para guru, begitu juga sebaliknya. Perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi yang tidak sesuai tipe guru akan menyebabkan turunnya motivasi kerja mereka.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah yang diteliti, yaitu perbedaan perilaku kepemimpinan dan pendekatan supervisi kepala sekolah diduga berpengaruh terhadap motivasi kerja guru.
Teori-teori motivasi & Motivasi Kerja Guru
Teori-teori Motivasi
Terdapat banyak teori yang membahas tentang motivasi, beberapa di antaranya adalah:
a. Teori Hirarki kebutuhan Maslow (Hierarchy of needs)
Teori ini dikembangkan oleh Maslow yang memandang kebutuhan manusia dari yang paling rendah hingga ke paling tinggi dimana jika salah satu dari kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka kebutuhan tersebut tidak lagi menjadi motivator.
Maslow (Handayaningrat, 1982: 102) menyebutkan bahwa motivasi manusia berhubungan dengan 5 kebutuhan, yaitu: (1) kebutuhan fisik (Physiological need), (2) kebutuhan untuk memperoleh keamanan dan keselamatan (Security of safety need), (3) kebutuhan bermasyarakat (Social need), (4) kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (esteem need) dan (5) kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan (Self actualization need).
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan dasar yang bersifat primer dan vital, menyangkut fungsi-fungsi biologis seperti kebutuhan pangan, sandang dan papan, kesehatan fisik, seks dan lain-lain. Kebutuhan rasa aman dan perlindungan seperti terjaminnya keamanan, terlindung dari bahaya dan ancaman penyakit, perang, kemiskinan, kelaparan, perlakuan tidak adil dan lain sebagainya.
Kebutuhan sosial meliputi kebutuhan akan dicintai, diperhitungkan sebagai pribadi, diakui sebagai anggota kelompok dan lain sebagainya. Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan antara lain kebutuhan dihargai karena berprestasi, memiliki kedudukan dan pangkat sedangkan kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan adalah kebutuhan mengaktualisasikan diri misalnya pengembangan potensi diri, kreativitas dan mengekspresikan diri.
b. Teori X dan Y oleh Mc Gregor
Dauglas Mc Gregor mengemukakan 2 pandangan bertentangan yang terdapat diri manusia yang disebutnya sebagai teori X dan Y. Menurutnya, sebagian manusia tidak suka bekerja dan tidak bertanggung jawab sehingga harus dipaksa atau diperintah. Orang-orang seperti itu dikategorikan tergolong dalam teori X yang hanya membutuhkan motivasi fisiologis saja yang perlu diawasi secara ketat, sebaliknya Mc Gregor juga menyatakan bahwa manusia pada dasarnya suka bekerja keras, dapat mengontrol dirinya sendiri dan mampu berkreativitas. Orang-orang demikian tergolong dalam teori Y yang tidak perlu diawasi secara ketat.
c. Teori David C. Mc Clelland
David C. Mc Clelland adalah seorang direktur pusat penelitian kepribadian di Universitas Harvard. Bersama rekan-rekannya, dia meneliti persoalan yang berkaitan dengan keberhasilan seseorang (the needs to achieve) yang menghasilkan suatu konsep yang membahas atau berhubungan dengan upaya mencapai keberhasilan sehingga teorinya dikenal dengan Achievement motivation Theory.
Teori motivasi menurut pendapat Mc Clelland (Hasibuan, 1996: 103) menyatakan bahwa terkait persoalan motivasi, maka setiap orang mempunyai 3 jenis kebutuhan, yaitu:
1) Kebutuhan akan prestasi (need for achievement = n.Ach)
Kebutuhan ini akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dalam menggerakakan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya untuk mencapai prestasi optimal,
2) Kebutuhan akan afilisiasi ( need for affiliation = n.Af)
Kebutuhan ini menjadi daya penggerak yang memotivasi seseorang karena setiap orang menginginkan (a) kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain di lingkungan ia berada (sense of belonging), (b) kebutuhan akan perasaan dihormati (sense of importance), kebutuhan akan perasaan maju dan tidak gagal (sense of achievement), (d) kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of participation),
1) Kebutuhan akan kekuasaan (need for power = n.Pow)
Kebutuhan ini merupakan daya penggerak untuk memotivasi seseorang karena merangsang dan memotivasi seseorang untuk mengerahkan semua kemampuan untuk mencapai kekuasaan atau kedudukan yang baik.
Berdasarkan hasil penelitian Mc Clelland (Deliarnov, 1996:45), ada beberapa karakteristik orang-orang berprestasi, antara lain:
1) Berani mengambil resiko moderat,
2) Menghendaki umpan balik (immediate feedback),
3) Keberhasilan diperhitungkan secara teliti,
4) Mengintegral dengan tugas.
Sedangkan sifat orang dengan motif berprestasi menurut David Mc Clelland (Moekijat, 1984: 54) adalah (1) mereka berusaha agar kemampuan dapat mempengaruhi hasil, (2) mereka tampak lebih banyak berhubungan dengan prestasi perorangan, (3) menginginkan umpan balik yang berhubungan dengan prestasi dan tugas mereka dan (4) berusaha memikirkan cara yang lebih baik untuk mengerjakan sesuatu.
d. Teori Alderfer
Siagian (Ayati, 2008: 57) menyebukan bahwa teori Alderfer juga dikenal dengan akronim ERG karena terdiri atas 3 istilah, yaitu Existence, Relatedness dan Growth.
Ada 2 dua hal penting dalam teori ini, yaitu (1) secara konseptual terdapat kesamaan dengan teori hirarki kebutuhan Maslow, yakni Existensce identik dengan hirarki pertama dan kedua, Relatedness senada dengan hirarki ketiga dan keempat sedangkan Growth mengandung makna sama dengan self actualizationnya. (2) Aldefer menekankan bahwa berbagai jenis kebutuhan manusia itu diusahakan pemuasaannya serentak.
e. Teori Frederyck Herzberg
Herzberg mengemukakan suatu teori yang merupakan pengembangan teori hirarki kebutuhan menurut Maslow. Teori ini memberikan kontribusi penting bagi pimpinan organisasi dalam memotivasi karyawan, yaitu: (1) teori ini lebih eksplisit dari teori kebutuhan Maslow khususnya mengenai hubungan antara kebutuhan dalam performa pekerjaan, (2) kerangka ini memberikan model aplikasi, pemerkayaan pekerjaan (Leidecker & Hall, 1999: 13).
Menurut Cushway dan Lodge (1995:138), Herzberg mengembangkan teori motivasi yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang yang dikelompokkannya ke dalam 2 faktor yaitu faktor pendorong (motivation factors) atau disebut juga intrinsic motivation dan faktor penyehat (hygienes factors) atau disebut juga ekstrinsic motivation.
1) Faktor Pendorong (Motivation Factors)
Herzberg menyebut faktor-faktor pendorong sebagai penyebab kepuasan (satisfiers). Kepuasan yang dimaksud di sini adalah apabila faktor-faktor berikut terpenuhi maka akan menimbulkan kepuasaan pada seseorang yang akan meningkatkan gairah atau motivasi kerjanya.
Adapun yang termasuk dalam faktor pendorong adalah:
a) Prestasi (achievement)
Prestasi adalah keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas, mengatasi tantangan, mengatasi permasalahan, menghilangkan perasaan gagal dan rasa tidak mampu memecahkan masalah,
b) Pengakuan (recognition)
Pengakuan adalah perilaku atau perbuatan yang ditunjukkan kepada seseorang sebagai perwujudan dari pengakuan, perhatian atau penghargaan dari orang lain atau masyarakat umum,
c) Peningkatan (advancement)
Peningkatan adalah kesempatan bagi seseorang untuk meningkat, menduduki pangkat atau jabatan-jabatan yang lebih tinggi dalam organisasi, kesempatan untuk memperoleh promosi,
d) Tanggung jawab (responsibility)
Tanggung jawab adalah pemberian wewenang kepada seseorang untuk melaksanakan suatu tugas atau memikul tanggung jawab dan diikutsertakan dalam usaha perbaikan-perbaikan atau pembaharuan ke arah positif,
e) Pekerjaan itu sendiri (work itself )
Pekerjaan itu sendiri adalah sifat-sifat dari suatu pekerjaan yang menimbulkan reaksi dari sikap seseorang selama melaksanakan tugas atau pekerjaan tersebut. Seperti reaksi sikap menyenangi, tertarik, mengagumi dan lainnya.
2) Faktor Penyehat (Hygiene Factors)
Herzberg menyebut faktor-faktor penyehat sebagai penyebab ketidakpuasan (dissatisfiers). ketidakpuasan di sini adalah apabila faktor-faktor berikut tidak dipenuhi maka akan menimbulkan ketidakpuasaan yang akan berpengaruh pada gairah atau motivasi kerja.
Adapun yang termasuk dalam faktor penyehat adalah:
a) Hubungan antar pribadi - rekan sekerja (interpersonal relation peers)
Yaitu hubungan antar rekan sekerja yang sederajat dalam rangka melaksanakan tugas pekerjaan. Hubungan ini bisa berupa kerja sama, rasa saling menghargai, saling mempercayai, rasa satu keluarga,
b) Hubungan antar pribadi - bawahan (interpersonal relation subordinates)
Yaitu hubungan dengan bawahan dalam rangka melaksanakan tugas dan pekerjaan. Dalam hal ini, yang dianggap sebagai bawahan guru adalah siswa, yang tercipta dalam harmonis penuh rasa kekeluargaan selama proses belajar mengajar di kelas sangat,
c) Hubungan antar pribadi - atasan (interpersonal relation superior)
Yaitu hubungan antara guru dengan kepala sekolah dalam konteks kedinasan atau pekerjaan. Perwujudan hubungan ini dapat berupa keakraban antara guru dengan kepala sekolah, sikap terbuka antara guru dengan kepala sekolah atau guru merasa dirinya dibantu oleh kepala sekolah,
d) Keamanan kerja (job security)
Yaitu jaminan yang menimbulkan rasa aman dan tentram dalam bekerja, seperti jaminan keamanan kerja, jaminan hari tua, jaminan kesehatan dan lain sebagainya,
e) Kehidupan pribadi (personal life)
Yaitu perasaan yang timbul dalam keluarga guru sebagai akibat dari jabatan guru yang dimilikinya, perasaan bangga dan bahagia sebagai guru,
f) Kebijaksanaan dan administrasi (policy and administration)
Yaitu cara-cara kebijakan yang digunakan dalam organisasi untuk mengatur kerja ( jadwal kerja ),
g) Kesempatan untuk bertumbuh (possibility of growth)
Yaitu kemungkinan dalam organisasi (sekolah) memberikan kesempatan kepada seseorang untuk meningkatkan atau memperbaiki pengetahuan dan keterampilan kerja, misalnya meningkatkan kualifikasi pendidikan dan pelatihan,
h) Gaji atau penghasilan (salary)
Yaitu segala penghasilan yang diperoleh seseorang berupa uang, termasuk gaji, tunjangan, honor dan lain sebagainya.
i) Kedudukan (status)
Yaitu hal-hal atau fasilitas yang merupakan tanda kelengkapan suatu pangkat atau jabatan, misalnya personel tata usaha membantu pekerjaan guru, penyediaan ruang guru yang memadai dan lain sebagainya,
j) Kondisi kerja (working conditions)
Yaitu kondisi kerja yang mencakup keadaan-keadaan lingkungan fisik kerja serta fasilitas-fasilitas lain. Bagi guru dalam rangka mengajar, kondisi kerja ini bisa berupa keadaan, peralatan mengajar, ruang mengajar serta jumlah siswa yang diajar.
Motivasi Kerja Guru
Motivasi kerja diartikan sebagai sesuatu yang menimbulkan dorongan atau semangat kerja atau pendorong semangat kerja. Ibrahim Bafadal (Sarbini, 2004: 21) mengutip Hoy dan Miskel (1987) dan Sergiovanni (1987) menyatakan bahwa motivasi kerja guru adalah kemauan guru untuk mengerjakan tugas-tugasnya yang ditambahkan oleh Wiles (1955) bahwa tinggi rendahnya motivasi kerja guru sangat mempengaruhi performansinya dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
Motivasi kerja guru adalah motivasi yang menyebabkan guru bersemangat dalam mengajar karena kebutuhannya terpenuhi. Kepala sekolah yang menyadari bahwa esensi kepemimpinan terletak pada hubungan yang jelas antara pemimpin dengan yang dipimpinnya dan memahami kepemimpinan sebagai kegiatan untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan kelompok akan berperilaku meningkatkan motivasi kerja guru di sekolah yang dipimpinnya. Begitu juga kepala sekolah sebagai supervisor, kemampuannya memilih pendekatan yang paling tepat dalam melaksanakan supervisi sebagai upaya pembinaan dan bimbingan akan sangat berpengaruh pada motivasi kerja guru.
Pernyataan Wiles yang dikutip Bafadal (Sarbini, 2004: 21) mengidentifikasikan 8 kebutuhan guru, yaitu: (1) rasa aman dan hidup layak, (2) kondiri kerja yang menyenangkan, (3) rasa diikutsertakan, (4) perlakuan yang jujur dan wajar, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan penghargaan, (7) ikut ambil bagian dalam pembuatan kebijakan sekolah, dan (8) kesempatan mengembangkan self respect.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut sangat mempengaruhi motivasi para guru dalam menjalankan tanggung jawabnya. Untuk itu peranan kepala sekolah dalam menjalankan fungsinya di sekolah sebagai pemimpin dan supervisor sangat diperlukan.
Langganan:
Postingan (Atom)